Pola Penafsiran Al-Qur’an dari Masa ke Masa: Menafsirkan Bahasa Tuhan atau Bahasa Masyarakat Arab?

Peran manusia atas teks Al-Qur’an tidak lain hanyalah untuk mengungkapkan maksud Tuhan yang ada dalam teks melalui perangkat indikasi teks bahasa. 3 min


0
Sumber gambar: nasehatquran.com

Manusia sebagai animal rationale (binatang yang berpikir), tumbuh dalam banyak aspek keterbatasan. Baik keterbatasan yang berdimensi fisikal hingga ruhaniah. Sebut saja bagaimana manusia terbatas untuk mengetahui nasib dirinya esok hari atau keterbatasan yang dimilikinya dalam memahami isi hati orang lain.

Lebih jauh lagi, bagaimana keterbatasan manusia itu dipengaruhi oleh waktu dan tempat dirinya hidup; jangkauannya tidak sampai pada kehidupan 100 tahun sebelum dirinya hidup atau 100 tahun setelahnya mati. Karenanya, berangkat dari asumsi tersebut bahwa aktivitas berpikir manusia pun terikat dengan konteks ruang dan waktu.

Berbicara mengenai kehidupan manusia yang serba terbatas, hal ini rasanya akan sesuai dengan bagaimana selanjutnya cara pandang yang digunakan terhadap pola penafsiran yang berkembang dari masa ke masa.

Pola yang mengajak manusia untuk menyeberangi kenyataan sejarah, sosial dan budaya yang berlainan waktu bahkan hingga konteks religius satu zaman namun berlainan dalam adat kebiasaan. Hal ini disadari atau tidak, akan berimplikasi pada cara manusia memosisikan Al-Qur’an.

Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, dalam bentuk wahyu Tuhan yang bersifat oral, harus dikonkretkan ke dalam sebuah sistem bahasa manusia sesuai kebutuhan manusia, khususnya masyarakat Arab sebagai audiens awal.

Sehingga, akan muncul pertanyaan apakah upaya interpretasi sebagai salah satu proses dalam memahami wahyu Tuhan selama ini, dilakukan untuk menggali maksud Tuhan atau makna yang dimaksud masyarakat pemilik bahasa?

Baca juga: Fenomena Penafsiran Al-Qur’an Parsial-Radikal

Dinamika Penafsiran Al-Qur’an: Sebuah Utas Perubahan Paradigma

Spirit penafsiran Al-Qur’an yang semakin masif, telah menjadikan Al-Qur’an sebagai objek kajian dalam mengiringi kehidupan manusia. Hal ini mengakibatkan Al-Qur’an lekat akan kecenderungan yang dimiliki setiap masa perkembangannya.

Peran manusia atas teks Al-Qur’an tidak lain hanyalah untuk mengungkapkan maksud Tuhan yang ada dalam teks melalui perangkat indikasi teks bahasa. Hal ini selanjutnya akan menjadi bagian penting dalam menentukan elemen yang digunakan dalam penafsiran, hingga posisi setiap elemen yang dijadikan subjek sampai objek dalam penafsiran.

Penulis akan mengambil klasifikasi penafsiran menurut rentang waktunya, yakni klasik, pertengahan dan modern-kontemporer.

Secara singkat, penafsiran klasik sangat kental dengan momentum gemilang dari tafsir bil-riwāyah dan segala tafsir bil-ra’yi harus ditolak (Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Idea Press, 2016, hlm. 152-153) Yang menjadikan Al-Qur’an dipahami secara rigid, tekstual, dan statis.

Lain halnya dengan masa pertengahan. Saat itu mulai mendominasinya peran ideologi madzhab yang berimplikasi logis pada karakteristik penafsiran pada masa itu yang kaya akan kepentingan.

Klasifikasi terakhir adalah penafsiran pada masa modern-kontemporer. Membahas terkait modern, dalam beberapa kesempatan selalu disandingkan dengan kontemporer.

Hal ini dikarenakan adanya kesamaan dari dua masa ini, di antaranya adalah munculnya benih pembaharuan dalam dunia studi keislaman yang dipelopori oleh Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha—dengan hanya menyebutkan sebagian—yang telah membawa angin segar atas kejumudan pola pemikiran Islam melalui kritik terhadap penafsiran yang dilakukan ulama sebelumnya.

Abdul Mustaqim mengatakan bahwa meskipun tidak adanya batasan tahun pasti yang membedakan antara masa modern dan kontemporer, namun hal ini dapat ditinjau dari batasan pola pemikiran manusianya.

Sekitar tahun 1967 (Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010, hlm. 11), bertepatan dengan kekalahan Arab dari Israel, peristiwa ini mengakibatkan munculnya kritik diri yang mengharuskan Arab berbenah. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran era modern-kontemporer yang masih menggunakan metodologi klasik.

Tafsir pada masa ini lebih dituntut pada aspek fungsional, yang juga harus lebih bisa berperan dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai teks sakral yang jauh dari campur tangan ragam perspektif.

Baca juga: Unsur Lokalitas Penafsiran Syubah Asa

Nuansa kontekstualis-hermeneutis rasanya menjadi pemandangan yang lebih banyak dianut oleh mufassir pada masa ini. Karena itu, jika tidak adanya daya kritis dalam memahami Al-Qur’an justru menjadikan diri pembaca sebagai objek bahasa dan budaya dari penutur bahasa (Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumul Qur’an, Yogyakarta: IRCiSoD, 2020, hlm. 172).

Hal ini mungkin saja terjadi, karena berdialektika dengan Al-Qur’an, artinya pun berdialektika dengan bahasa dan budaya yang tersisip dalam Al-Qur’an. Karenanya, masa modern-kontemporer mulai adanya gagasan untuk menerapkan konsep—meminjam istilah Amin Abdullah—integrasi-interkoneksi antara keilmuwan agama dan keilmuwan umum.

Isu-isu terkait gender, kemanusiaan hingga pluralisme mulai masuk dalam aktivitas obrolan studi Al-Qur’an. Kesan tradisionalis yang lama disandang oleh kajian keislaman, semakin terkikis. Wajah baru ini, tentu sedikit banyak sangat berdampak kepada pola epistemologis-metodologis penafsiran Al-Qur’an yang lebih produktif.

Editor: Sukma Wahyuni

_ _ _ _ _ _ _ _ _
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Karina Rahmi Siti Farhani
Perempuan asal Garut. Mahasiswi Program Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal - LPDP . Menekuni kajian Keislaman-Keperempuanan

One Comment

Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

  1. Analisis akan lebih tajam jika mengulas teori “inzal Al-Qur’an” dalam al-Burhan fi ulum Al-Qur’an karya Burhanuddin al-zarkasyi

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals