Enam Hal yang Tidak Harus Diumbar di Media Sosial

Utamanya di masa-masa pandemi Covid-19 yang urung mau pergi, mungkin setiap persekian detik umat manusia menjadikan kehidupan jagat Maya sebagai nyawa. 11 min


0
Social Media
Sumber gambar: News.okezone.com

Tak surutnya masa karantina akibat pandemi Covid-19 di Bumi Pertiwi menjadikan penggunaan gadget untuk melanglang buana di media sosial tidak terkendali. Maraknya penggunaan media sosial di era teknologi informasi global ini menjadikan ruang lingkup kehidupan sosial manusia bermuka dua. Kok bisa bermuka dua? Karena apa? Ya, Manusia dituntut untuk memainkan peran dalam dua ruang yang kontradiktif secara bersama; antara jagat maya dan realitas.

Jagat maya di sini berarti aktivitas komunikasi (one way maupun timbal-balik) yang dilakukan manusia dengan memanfaatkan integrasi media elektronik melalui koneksi internet (online). Sederhananya, sebutkan saja jagat maya ini dengan komunikasi via daring melalui gadget.

Kita semua pastinya tahu-menahu dan piawai bagaimana berselancar di jagat maya dengan media sosial, bukan? Mengirimkan tugas via Email. Chat dengan WhatsApp. Mengunggah status di Facebook, Twitter, Instagram dan lain sebagainya. Entah itu dalam bentuk serial kata-kata bijak, foto maupun video. Atau mungkin mejeng tautan tulisan ter-update kita di blog sampai dengan sekadar menonton film kesukaan di YouTube.

Tapi yang sedang booming di media sosial sekarang tidak lain adalah TikTok, Snack video, instastory dan bentuk ceracau lain. Orang-orang sedang asyik mengumbar gila dan kekonyolan hidup karena beban kehidupan. Eh, ada juga tren tutorial dan lapak online (online shop) yang dijajakan di akun media sosial pribadi yang kian gandrung.

Nah, semua itu kerap kita lahap berulang-ulang kali, bukan? Kerap kita temukan dalam satu kali scroll-an. Bahkan saking seringnya tampil di jagat maya kita sampai ketagihan. Apalagi kita tahu bahwa semua itu dilihat oleh khalayak ramai. Sebut saja semua penghuni jahat maya itu dengan netizen.

Sementara realitas adalah kehidupan nyata di dunia yang dijalani manusia dengan melibatkan kesadaran, common sense dan adanya dampak langsung tanpa ada perantaraan. Masing-masing manusia dapat saling bersentuhan, terlibat interaksi verbal dan non-verbal, gestur serta pertautan ekspres perasaan yang dapat menyentuh hati secara langsung.

Dalam rangka melestarikan dua ruang kehidupan secara bersamaan itulah manusia selalu dihadapkan pada pilihan. Pilihan yang penuh warna sekaligus menegaskan siapa identitas sang empunya. Memilih tampil natural menjadi dirinya atau mungkin sebaliknya, sibuk membangun citra.

Entah itu menghendaki untuk mengekspresikan diri ataupun memilih berdiri di atas pondasi pencitraan yang kokoh, sejatinya yang demikian hanya sekadar jembatan untuk mencapai postulat eksistensi yang ditopang serba-serbi.

Sadar atau tidak, hal itu tak ayalnya mendeskripsikan rajutan rasa sepi (kesepian), menarik simpati dan keinginan untuk diakui yang terbenam di dalam diri. Satu motif terselubung dalam setiap unggah postingan media sosial kita di jagat maya.

Baca Juga: Apa Kabar Media Sosial Kita?

Meski demikian, sebenarnya sangat tidak dapat dibenarkan jika semua hal tentang kehidupan kita diumbar begitu saja di media sosial. Ini-itu di-share di media sosial. Semua privasi diterjang-logika kemanusiaan diberhanguskan demi like, sanjungan dan popularitas di media sosial. Demi candu eksis di mata netizen.

Hemat saya, bagaimanapun yang demikian itu tak ayalnya satu kenaifan yang berapi-api. Justru alangkah baiknya masing-masing netizen harus mampu mengendalikan diri dalam menggeluti jagat maya. Harus ada dan tahu apa kode etik yang berlaku tatkala berselancar di media sosial.

Adapun di antara sekian banyak hal yang dapat dilakukan suka-suka oleh para netizen di media sosia, terdapat enam hal yang tidak seharusnya diumbar begitu saja di media sosial. Apa saja enam hal tersebut?

Semua Rencana Besarmu

Mengunggah semua rencana besar dalam kehidupan kita di media sosial bukan termasuk salah satu hal yang baik. Mengapa demikian? Karena umumnya rencana besar yang dipandang sebagai jalan menuju kebahagiaan dan kesuksesan itu lebih cenderung bersifat privasi.

Sesuatu hal yang bersifat privasi tidak semestinya diumbar di ruang publik dengan sesuka hati. Karena di sana ada rahasia, hak prerogatif, strategi dan kebijakan hidup masing-masing manusia yang mungkin saja dicuri atupun membuat segelintir orang merasa iri, lantas memancing timbulnya tindakan yang tidak pernah dikehendaki.

Mungkin kita semua telah banyak menahu, bahwa nasib satu postingan di media sosial selalu berakhir ambigu. Multitafsir. Semua netizen mempunyai kuasa penuh untuk menilai, mengkritisi, mem-bully sampai dengan menyusun dalil-dalil yang keliru.

Memposting setiap rencana besar dalam kehidupan kita di media sosial itu jika dianalogikan laiknya bumerang. Senjata yang diarahkan ke lawan namun sejatinya sedang menghantui diri kita pribadi. Jika tidak mampu mengendalikan, korbannya adalah diri kita sendiri.

Simpan rapat-rapat semua rencana besarmu! Catatlah semuanya itu di dalam lemari atau buku diarimu. Jadikan itu anak tangga yang lambat laun kelak mengokohkanmu. Satu alasan mengapa Anda berada di satu posisi dan terlibat dalam peran itu. Satu cerita yang menjadi ambisi dalam menapaki hidupmu.

Namun harus diakui pula, bahwa di satu sisi menceritakan satu rencana besar dalam lingkup kelompok sosial tertentu kerap kali dilakukan guna mendongkrak motivasi, ekspektasi dan meningkatkan ritme permainan untuk lebih strategis. Hal itu bahkan menjadi tradisi. Itu berarti terdapat pengecualian, di mana kita boleh menceritakan rencana besar pada orang-orang tertentu yang memiliki visi-misi dan frekuensi yang sama dalam hidup.

Semua Pencapaianmu

Mengumbar semua pencapaian dalam kehidupan kita di media sosial sangat tidak dianjurkan. Bentuk pencapaian dalam kehidupan ini bermacam-macam; mulai dari prestasi, keadaan diri, peran sampai dengan kedudukan (jabatan).

Pertanyaannya, kenapa kita tidak boleh mengumbar semua pencapaian di media sosial? Bukankah semua itu dapat menginspirasi orang lain yang mengetahuinya? Semua orang dapat terpacu untuk menjalankan hidup dengan penuh kompetitif. Ya, itu sudut pandang positif yang harus mengitari pikiran kita.

Masalahnya kita tidak pernah tahu apa-apa yang ada di setiap kepala. Baik-buruk entah itu apa. Namun setidaknya kita dapat mengetahui dari kecenderungan yang ada. Bagaimana cara pandang netizen men-judge dan meletakkan tangan di mana tatkala mendapati unggahan terkait pencapaian seseorang.

Mungkin kita sendiri pernah tahu, bagaimana nasib pencapaian para pesohor (red; para aktor-aktris dan tokoh) di negeri ini yang mendapat komentar miring dari netizen. Di mana dalam setiap rekam jejaknya dia tidak lepas dari politik adu domba, bullying, sarkastik hingga berujung pada satu perkara.

Ah, manusia. Sosok narsistik yang tak pernah dewasa. Selalu saja ada upaya memaksakan kehendak diri untuk mendikte kesadaran manusia lain. Selalu harus nampak persis dengan keumuman yang timbul di permukaan semata. Jika tampak kentara berbeda maka, ya, harus dipukul rata. Kesalahan dan hukum sosial ditimpakan kepadanya.

Terlebih lagi yang kerap dipotret oleh netizen terhadap postingan tentang pencapaian seseorang hanya sebatas pamer, sombong dan asumsi pencitraan semata. Susah memang jika sudah terbiasa berburuk sangka. Bebal memang jika menilai orang tanpa memahami konteks dan maksud yang hendak disampaikannya.

Sebagai solusinya, supaya pencapaian kita benar-benar berhasil menggugah kesadaran dan mengetuk hati khalayak ramai, alangkah baiknya kita menuliskan proses panjang dan onak untuk sampai pada titik itu yang disebut sebagai pencapaian. Toh, kalau sudah tertorehkan di dalam buku, setidaknya netizen harus berani mentradisikan membaca dan mengkritisinya dengan buah pena pula, bukan?

Sementara sebagian besar orang selalu mudah menyerah dengan segudang alibinya kalau ditantang untuk menuliskan tutur katanya melalui goresan pena.

Kebaikanmu

Ada banyak kebaikan yang dapat dikerjakan oleh masing-masing kita. Entah itu kebaikan yang didasarkan dalam wujud pemberian materiil maupun non materiil seperti halnya tindakan tulus yang ditujukan kepada orang lain.

Selain berwujud, kebaikan juga dapat ditinjau dari motif kenapa seseorang harus melakukan kebaikan itu. Tentu dalam konteks ini ada banyak latar belakang yang menjadi alasan masing-masing orang merasa “harus” melakukan satu tindakan yang disebut sebagai insting untuk berbuat baik.

Sadar atau tidak, hati nurani masing-masing manusia sebenarnya selalu memiliki kecenderungan untuk melakukan sesuatu kebaikan terhadap dirinya ataupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Masalah eksekusi, apakah ia hendak melakukannya dan menuruti keinginan “bisikan” hati nurani itu tergantung kesadarannya.

Itu pula yang menjadi alasan kenapa seseorang akan merasa tersentuh hati “terenyuh” sehingga harus bersimpati dan berempati terhadap satu posisi yang dialami oleh seseorang.

Namun yang menjadi masalahnya adalah bagaimana jika seluruh kebaikan yang kita lakukan itu dengan sengaja diumbar di media sosial? Bagaimana jadinya jika seseorang memaksa orang lain untuk melakukan kebaikan atas dasar iming-iming surga? Bagaimana jika orang lain memanfaatkan kebaikan kita? Bagaimana jika ada kasus politisasi agama terhadap kebaikan kita?

Seperti halnya deret slogan yang termuat dalam sepanduk; “Masuk surga itu murah bos”, “ayo beli tiket surga di sini”, “amal jariyah dulu supaya lancar perjalanan Anda” dan lain sebagainya. Hal itu sering kita temukan di beberapa titik yang dekat dengan renovasi masjid, pembangunan fasilitas umum dan sarana lainnya.

Selain terdapat oknum yang piawai memanfaatkan kebaikan di antara sesama, pun terlalu banyak alasan kenapa kita tidak boleh mengumbar semua kebaikan yang telah dilakukan sepanjang nafas kehidupan kita. Entah itu berakar pada kecemburuan sosial, larangan agama ataupun dalam upaya menjaga hak prerogatif kita sebagai sesama manusia.

Sehingga jelas, ada baiknya seluruh perbuatan baik itu kita kendalikan, simpan menjadi rahasia supaya tidak dipandang riya’, pamer, ujub dan lain sebagainya. Biarkan kebaikan itu melahirkan kebaikan baru bagi sang penerimanya tanpa harus dituntut menceritakan ulang kejadiannya, disorot media massa ataupun segala wujud kelaliman kita demi mengeruk keuntungan pribadi semata ujung-ujungnya.

Anehnya, terlalu banyak pencitraan kebaikan itu telanjur lacur di jagat maya. Bahkan saking banyaknya, kebaikan terhadap orang lain itu menjadi konsep konten terlaris yang kerap diganyang banyak channel acara. Entah itu di dunia pertelevisian maupun nangkring terekspos di akun media sosial yang kerap kita buka. Sebagai konten YouTube utamanya.

Namun, apakah dapat dibenarkan mengambinghitamkan kebaikan “belas kasih” demi meraup keuntungan dan popularitas semata-mata? Ibaratnya kita menjual kebaikan guna memperkaya diri.

Setelah itu, lantas masih saja lancang menodong Tuhan untuk bertanggungjawab (meminta ganjaran pahala) terhadap perbuatan baik kita. Ah, dasar manusia yang senangnya melulu memonopoli. Padahal apalah daya, manusia sekadar hamba yang tak pernah tahu diri.

Keuanganmu

Salah satu hal yang banyak diincar oleh sebagian besar orang di dunia adalah uang. Alat transaksi yang digemari dan digilai khalayak ramai. Kemanfaatan yang melekat pada uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sering menjadi alasan kenapa orang-orang harus bekerja banting tulang siang-malam.

Tidak hanya banting tulang siang-malam, sebagian besar orang bahkan rela berkorban waktu dan menerobos jarak nun jauh berlipat-lipat demi menggenggam uang. Demi uang adakalanya orang menghilangkan rasa kemanusiaan. Karena uang terlalu banyak orang mengutamakan egois dan keliaran akal bulusnya.

Kita mungkin pernah mendengar tentang bagaimana orang saling menjatuhkan diri karena urusan uang. Kita mungkin pernah mendengar tentang bagaimana manusia saling berlomba-lomba untuk memberanguskan nyawa karena hendak menguasai harta-uang, jabatan dan realitas kebahagiaan yang dimiliki oleh orang lain.

Atas dalih uang pula bagaimana identitas, status dan stratifikasi sosial masyarakat tertentu kadang menjadi gejolak bias yang berkepanjangan. Kepemilikan atas uang meletakkan di mana posisi, cara pandang dan bagaimana kita menyikapi masing-masing orang. Termasuk di dalamnya turut mengkonstruksi bagaimana pola hidup seseorang.

Mengenai hal ini dapat dilihat dari bagaimana cita-cita khalayak ramai yang mengidam-idamkan diri untuk merubah dan memperbaiki hidupnya supaya menjadi orang yang bergelimang harta-uang, tahta dan kehormatan-pengakuan. Karena bagaimanapun ada pandangan yang terabadikan dalam kesadaran diri bahwa jumlah kekayaan itulah yang kemudian menjadi barometer bagaimana orang lain memandang dan memperlakukan.

Ironisnya, barometer itu kerap menjadi biang keladi banyak timbulnya ketimpangan, konflik dan kecemburuan sosial hingga memancing niat kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Entah itu modus yang hinggap karena keterpaksaan, himpitan ekonomi, mengendaki kaya dengan cara yang instan, ataupun memang karena ada kesempatan yang berawal dari mengumbar keuangan kita di media sosial.

Dengan demikian, mengumbar keuangan kita di media sosial itu berarti menghendaki diri untuk memancing timbulnya keirian, menimbulkan keresahan hidup, memberi kesempatan kepada orang lain untuk menanamkan motif kejahatan hingga mematikan kewarasan manusia untuk berbuat baik kepada sesama.

Ah, sampai di sini ada benarnya kata Herbert Mind (sosiolog), di mana manusia mulanya menciptakan uang sebagai salah satu sistem yang memudahkan manusia mengatur, menyukupi dan mengendalikan kebutuhan dirinya. Akan tetapi, lambat laun rapuhlah tujuan mulia itu dengan menempatkan masing-masing manusia sebagai subjek yang diobjektifikasikan oleh kegilaannya penguasaan atas uang.

Kegilaan penguasaan atas uang terus menggurita di dalam dada manusia. Melemahkan hati nurani kita masing-masing. Mematikan kinerja rasionalitas atas anugerah terbaik yang diberikan oleh Tuhannya. Satu keadaan di mana Sigmund Freud menegaskan setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh manusia melulu sibuk memenuhi ego dan ide yang ada dalam dirinya semata-mata.

Sebaliknya, di satu pihak tak pelak kita jumpai pula selalu ada upaya daripada pihak ketiga yang berusaha membeberkan dan mengulik seberapa besar kekayaan seseorang yang dipandang sebagai tokoh dan pejabat di mata khalayak ramai. Pihak ketiga itu sebutkanlah media massa dan akun media sosial tertentu yang doyannya mencari sensasi demi mendapatkan rating tinggi.

Dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa bisa saja masing-masing pribadi manusia berusaha tidak mengumbar besaran keuangannya, akan tetapi pada kenyataannya selalu ada pihak ketiga (oknum) yang secara sengaja hendak menunggangi hal privasi seseorang untuk semata-mata kepentingannya. Ah, dasar manusia.

Masalah Asmaramu

Urusan gejolak hati salah satunya tentang asmara, sama dengan cinta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asmara dimaknai perasaan senang kepada lawan jenis ditinjau dari perbedaan kelamin yang ada. Sementara cinta berarti suka sekali, ingin sekali, menghendaki memiliki sesuatu ataupun rasa risau atas segala apa yang terdapat di luar diri kita.

Meskipun cinta sesungguhnya memiliki makna yang luas dan berlaku kepada siapapun tanpa memilah-milah jenis kelamin. Tua, muda sama saja. Namun, khalayak ramai kerap mendefinisikan asmara sebagai satu ikatan rasa yang hanya diberlakukan kepada lawan jenis yang kita suka. Lawan jenis yang dipersepsikan sebagai pasangan hidup kita. Sederhananya, jodoh kita.

Padahal jika kita menilik pada kenyataannya bukankah ikatan rasa dan kenyamanan yang dimiliki orangtua terhadap anaknya juga dapat disebut cinta? Ikatan persaudaraan yang ada di sekitar kita bukankah itu juga salah satu bentuk cinta? Bukankah keterikatan antara manusia dengan alam juga cinta? Bahkan konsepsi penciptaan dan status hamba seorang makhluk di muka bumi takkan pernah terwujud tanpa limpahan mahabbah Sang pemilik muara cinta yang hakiki.

Nah, itu dia permasalahannya. Adakalanya manusia yang berkoar-koar sedang dimabuk asmara sebenarnya ia tak kunjung paham akan arti cinta yang sesungguhnya. Tak pernah mau mempertanyakan kembali posisi cintanya. Tak ingin tahu-menahu di manakah letak hierarki cinta yang sedang melanda hidupnya. Tidak paham antara unsur dasar cinta yang memberdayakan dengan cinta yang memperdayai.

Lebih tepatnya, problem cinta yang kerapkali melanda diri manusia umumnya salah mengidentifikasi objek cintanya. Khalayak memandang cinta sebagai problem dicintai, bukan problem mencintai. Orang berpikir bahwa mencintai itu sederhana, yang sulit ialah mencari objek yang tepat untuk dicintai. Sehingga cara pandang itu bermuara pada dua persepsi tentang nasib para pecinta: ada cinta yang sifatnya merusak objek yang dicintai dan ada pula cinta yang merusak dirinya yang mencintai.

Jika cara pandang kita terhadap cinta masih saja demikian maka cinta yang ada di dalam diri patut dipertanyakan. Alih-alih hendak menegaskan diri sebagai pejuang cinta, jangan-jangan yang selama ini bercokol di dalam hati kita adalah obsesi diri untuk menundukkan orang lain atas nama nafsu. Ekspresi ego diri untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi yang dimiliki oleh lawan jenis kita.

Padahal esensi cinta sejatinya tidak demikian. Cinta adalah relasi paling agung antar sesama makhluk. Bahkan dapat dikatakan pula, bahwa cinta adalah harmonisasi segala wujud apa pun yang ada di dunia. Katanya Erick Fromm: “Love is an activity, not a passive affect; it is a standing in; not a falling for.” Cinta itu didirikan atas dasar kemantapan dalam keterlatihan sekaligus mencerminkan kematangan pemikiran. Pendek kata, cinta itu membantu mengaktualisasikan dan memberdayakan diri para pecinta itu dalam menjalani kehidupan.

Adapun unsur dasar cinta yang memberdayakan para pecinta di antaranya ialah: Pertama, care (perhatian). Maksud care di sini berarti menaruh perhatian penuh, serius dan mendalam terhadap kontinuitas kehidupan objek yang dicintai. Termasuk di dalamnya menyangkut perkembangan, kemajuan dan mundurnya, baik dan buruknya objek yang dicintai. Perhatian atas segala aktivitas objek yang dicintai itu menyebabkan pelaku yang mencintai selalu melibatkan diri di dalam setiap geraknya.

Kedua, responsibility (tanggung jawab). Makna tanggung jawab di sini dalam artian ikut terlibat dan berusaha simpatisan atas segala kebaikan bagi kedua belah pihak yang saling mencintai. Meski saling mengupayakan segala kebaikan dalam masing-masing diri, bukan berarti pula ada upaya saling mendominasi ataupun mendikte setiap kehendak gerak yang dijalankan dalam kehidupan satu sama lain.

Ketiga, respect (hormat). Dalam cinta sudah pasti melibatkan dua pihak yang berbeda berusaha menjadi satu. Namun meski ada motif dan kehendak menjadi satu, itu bukan berarti ada upaya-upaya licik dan saling menciderai satu sama lain yang berpijak di atas keterpaksaan salah satu pihak, melainkan mendirikan cinta berdasarkan ketulusan, penghargaan atas segala wujud perbedaan dan ketidakterpaksaan di antara pihak yang bersangkutan.

Sementara yang terakhir, yakni knowledge (pengetahuan). Memahami objek yang dicintai dan yang mencintai (mutual understanding) mutlak dibutuhkan oleh mereka para pecinta. Mengapa demikian? Karena hanya dengan pengetahuan dan pemahaman yang paripurna atas objek yang dicintai menjadikan para pecinta mampu menempatkan diri tepat pada porsinya. Pendek kata, hadirnya sikap dan tindakan care, responsibility dan respect atas pasangan hidup akan muncul setelah kita memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk perihal cinta.

Jika telah demikian, maka tidak menutup kemungkinan cinta yang memberdayakan diri para pecinta itu akan bertransformasi diri menjadi cinta yang produktif. Cinta yang produktif itu seperti apa? Satu motif yang menggeser modus kehendak “memiliki” menjadi modus “menjadi”.

Cinta yang produktif mensyaratkan kemandirian, kebebasan dan penalaran kritis atas segala aktivitas yang dijalankan para pecinta. Cinta ini memiliki ciri khas keadaan aktif (bukan secara lahiriah) melainkan dalam artian optimalisasi aktual potensi kemanusiaan yang ada di dalam diri. Menjadi aktif berarti memperbaharui, tumbuh, mengatasi penjara ego, penuh semangat dan selalu termotivasi untuk memberi.

Bisa saja dengan diumbarnya setiap plot asmara kita di akun media sosial menjadikan timbulnya masalah baru yang tidak kita kehendaki. Misalnya saja memancing kecemburuan asmara bagi mereka yang tidak begitu suka dengan rekam jejak kehidupan kita. Timbulnya orang ketiga yang dapat menyebabkan keretakan jalinan hubungan, dan lain sebagainya.

Tegasnya, dengan tidak mengumbar kisah asmara kita di jagat maya, itu berarti kita sedang mengupayakan hidup yang penuh mawas diri. Berhati-hati dalam menjalani kehidupan dengan berusaha menata diri lebih baik daripada sudah merasa benar lantas menjadi biang timbulnya rentetan keresahan yang berujung kehancuran dan berbagai macam kejahatan lain atas nama kecemburuan.

Masalah Keluargamu

Hal terakhir yang tidak boleh diumbar di media sosial ialah masalah keluarga. Sebagaimana kita ketahui bersama, keluarga adalah tempat berkumpulnya orang-orang terdekat, terkasih dan tercinta dalam hidup kita. Atas dasar keintiman itu pula keluarga seringkali menjadi tempat mencurahkan segala keluh-kesah yang menjadi rahasia terbesar dalam hidup kita. Dalam hal ini, Abraham Maslow ada benarnya juga mengatakan bahwa keluarga adalah tempat ternyaman di mana manusia mendapatkan perhatian, kasih sayang, cinta dan perlindungan dari segala ketakutan yang ada di dunia dengan penuh ketulusan.

Baca Juga: Dari Media Sosial hingga Kebun Keluarga: Berbeda untuk Melengkapi Melawan Covid-19

Bagaimana tidak? Bagaimanapun lingkungan keluarga sangat berkontribusi banyak terhadap perkembangan kognitif, psikologis dan segala kecerdasan dalam setiap pribadi manusia. Dalam bimbingan orang-orang tertentu yang kita sebut keluarga, pengetahuan mendasar tentang kebutuhan hidup, pemecahan atas suatu masalah dan cara beradaptasi dengan lingkungan sekitar kita diajarkan sampai tuntas. Hal itu terus dilakukan sampai masing-masing di antara kita mampu menjalani hidup dengan berpijak menggunakan kaki sendiri.

Mungkin sesekali kita pernah mendengar tentang kisah orang-orang yang sukses dalam profesi tertentu karena dorongan dan didikan yang kuat di bawah payung keluarga. Utamanya orangtua, ayah dan ibu, ataupun sosok yang berperan sebagai pengganti daripada orangtuanya. Selain itu, mungkin kita juga pernah mendengar, bagaimana kondisi seseorang yang dibesarkan dalam bayang-bayang ikatan keluarga yang retak−tidak baik (jangan sebut itu broken home). Meskipun pada tahapan selanjutnya justru luka dan perih dalam keluarganya itu mampu menjadi satu kekuatan besar untuk mewujudkan semua tekadnya di masa mendatang.

Pada kenyataannya, keluarga adalah bagian terpenting dalam hidup masing-masing manusia. Ruang istimewa yang mengkonstruksi kepribadian, harapan dan setumpuk capaian yang terangkai lewat lantunan doa. Satu ikatan nasabiah yang  menerjemahkan siapa kita. Dalam konteks sosial, sistem keluarga pula yang turut mendefinisikan, menyematkan status dan peran sosial dalam pandangan khalayak masyarakat.

Lantas jika semua urusan keluarga adalah hal yang sangat privasi maka akankah kita membuat kegaduhan di rumah sendiri hanya dikarenakan kehausan narsistik di media sosial? Masalahnya siapa yang tega menyakiti dan menghancurkan keharmonisan keluarga yang diliputi kasih sayang dan cinta? Jikalau memang benar-benar ada, tak ayal seseorang itu adalah nista. Peri-kemanusiaan dalam dirinya telah sirna.

Keenam hal yang telah dipaparkan di atas hanya segelintir dari sekian banyak contoh yang mungkin saja kerap kita umbar di media sosial. Utamanya di masa-masa pandemi Covid-19 yang urung hendak pergi, mungkin setiap persekian detik umat manusia menjadikan kehidupan jagat maya sebagai nyawa. Tidak hanya bermodus menjemput rezeki melalui postingan di media sosial, melainkan mempertaruhkan kembali arti eksistensi daripada ruang-ruang hampa dari kehidupan nyata.

Editor: Ainu Rizqi
 _ _ _ _ _ _ _ _ _
Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi [email protected]

Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂

Silakan bagi (share) ke media sosial Anda, jika Anda setuju artikel ini bermanfaat!

Jika Anda ingin menerbitkan tulisan di Artikula.id, silakan kirim naskah Anda dengan bergabung menjadi anggota di Artikula.id. Baca panduannya di sini! 

Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook Artikula.id di sini!


Like it? Share with your friends!

0
Roni Ramlan, M.Ag
Tim Redaksi Artikula.id

18 Comments

Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

      1. Seharusnya kita lebih bijak dengan media sosia bisa jadi diri kita sendiri yg korban..karena dengan mengumbar foto..video.

  1. Sebuah media sosial bisa saja memberi pengetauhan bisa saja menjerumuskan keperbuatan negatif tergantung kita menyikapinya

  2. Terkadang orang-orang menggunakan media sosial agar terlihat hebat dan hanya memperdulikan apa kata orang daripada keadaannya yg sebenarnya.dipaksa ada padahal tidak ada,stress karena gunjingan orang-orang jika tidak sesuai ekspektasi.hanya meracuni isi kepala karena omonngan orang lain

  3. Memang gadget dan media sosial sudah menjadi candu di negeri ini, dan mungkin juga di negeri lainnya. Sayangnya banyak yang menyalahgunakan fungsi dari media sosial itu sendiri.

  4. Terkadang sosial media di gunakan dengan salah seharusnya di pergunakan dengan baik jngan menambah2kan berita yg tidak seharusnya di beritakan akan menimbulkan konflik

  5. Gunakanlah gadget anda dengan bijak, jangan sampai memosting postingan HOAX hingga akhirnya merugikan banyak pihak.

  6. Pesatnya perkembangan tekhnologi di era milenial menuntut semua kalangan harus beradaptasi dengan media sosial, Yang menjadikan masing masing personality kurang memperhatikan konsekuensi bergelut di dunia maya, Sehingga hilangnya kebijakan diri dalam menyikapi segala hal, yang membuat satu sama lain saling membabi-buta demi kepuasan, Keuntungan, Dan kepentingan semata.

    1. Betul. Kemajuan zaman memposisikan manusia dalam dua persimpangan jalan, antara mendikte diri untuk melangkah sesuai tuntutan atau terinjak-injak karena tak ingin tahu-menahu tentang segala perubahan.

  7. Sekarang kita ada dalam revolusi teknologi. Bahkan saat ini tren memberikan kasih sayang, dan perhatian sudah bergeser tidak lewat ekspresi melainkan lewat ujung jari. Lewat like, double tab, dan juga subscribe

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals