Tulisan ini merupakan bagian akhir dari lanjutan dua tulisan sebelumnya (tentang teologi dan praktik Nabi) yang berupaya untuk mengedepankan seberapa jauh teologi agama Islam “harus” berperan dalam upaya membumikan pesan-pesan perdamaian. Pada bagian akhir ini akan dipaparkan bagaimana perdamaian juga “meresap” dalam ajaran jihad dan perintah amar ma’ruf-nahi munkar (dua persoalan yang seringkali disalah-artikan oleh banyak orang).
Perdamaian dalam Jihad dan Amar Ma’ruf-Nahi Munkar
Salah satu ajaran yang paling problematis dalam Islam adalah persoalan jihad, yang sering dimaknai sebagai perang suci. (Johnson, 2002) Nyaris senada dengan ini adalah perintah Nabi untuk amar ma’ruf dan nahi munkar dengan tangan (kekuasaan) dalam hadis maka ubahlah kondisi itu dengan tanganmu, lisanmu atau hatimu juga sering dimaknai kewajiban melakukan dakwah dengan cara-cara yang “radikal”.
Pemaknaan terhadap jihad dan metode amar ma’ruf dan nahi munkar yang semacam ini jelas tidak memperoleh pembenarannya dalam al-Quran. QS 2: 190, 2: 193, 8: 39; 2: 91 pada dasarnya ingin menegaskan bahwa jihad bermakna melakukan perlawanan terhadap penindasan, kezaliman dan ketidakadilan (kapan saja hal itu terjadi) dan demi membebaskan orang-orang yang tertindas. Menurut Chaiwat Satha-Anand, jihad merupakan upaya, perjuangan untuk keadilan dan kebenaran yang tidak harus melalui jalan kekerasan. (Anand,12)
Dalam kaitan ini, jihad dapat dibedakan berdasarkan arah (ke dalam dan keluar) dan metode (kekerasan dan non kekerasan). Jihad batin berarti berperang di dalam diri individu, jihad luar merupakan perjuangan untuk mengurangi kejahatan di dalam diri umat (masyarakat). Dan secara lebih luas, jihad bisa dianggap sebagai upaya perjuangan di dalam porsi kemanusiaan untuk mensucikan dirinya. (Anand, 14)
Dalam arti peperangan, jihad hanya dibenarkan bukan semata-mata untuk menegakkan keadilan, namun juga memiliki aturan etika yang tidak bisa dilanggar. Di antara aturan-aturan tersebut adalah dilarang membunuh warga sipil, dilarang membunuh kalangan jompo, anak-anak, tidak boleh merusak pohon, dan lain-lain. (Anand, 15-16) Sebaliknya, umat Islam justru tidak memiliki hak hidup ketika keberadaannya justru melakukan penindasan dan menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya. (Rasheed,1998)
Dalam kaitannya dengan dakwah atau amar ma’ruf Nahi Munkar, menarik sekali apa yang dikemukakan al-Quran bahwa dakwah itu mustinya dilakukan dengan cara yang bijak, memberikan petuah-petuah yang baik, dan kalaupun berdebat dengan perdebatan yang sopan (bi al-hikmah, wa al-mau’izhah al-hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan). Cara seperti ini dinilai oleh al-Raziq sebagai ajaran perdamaian dalam dakwah. (Anand, 12-13) Terkait dengan penggunaan lisan dan tangan dalam dakwah, Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa ada aturan pokok yang harus diikuti, yaitu pengertian dan kesabaran, bukan dengan kekerasan.(Anand,12)
Epilog
Islam merupakan agama yang sangat mencintai perdamaian. Ini bukan saja diajarkan dalam al-Quran, namun juga dicontohkan oleh perilaku Nabi sendiri yang memiliki jiwa kepengasihan kepada orang lain. Kalaupun Islam dalam batas-batas tertentu bisa dianggap “membenarkan” kekerasan, hal itu semata-mata untuk menegakkan keadilan. Tetapi hal ini pun merupakan alternatif terakhir ketika cara yang lain tidak lagi mungkin dilakukan. Harus dicatat, bahwa Nabi memilih eksodus ke Madinah, ketika diperlakukan secara tidak adil oleh kaum musyrikin Mekkah. Bahwa beliau kembali menaklukkan Mekkah, hal itu adalah demi missi dakwahnya dalam rangka amar ma’ruf Nahi Munkar.
Akhirnya, menarik apa yang dikatakan Gandhi:
“Kebenaran dan tidak tanpa kekerasan tidak mungkin tanpa keyakinan yang hidup kepada Tuhan, Tuhan dalam arti Kekuatan hidup yang berdiri sendiri dan mahatahu yang melekat dalam kekuatan lain yang dikenal di dunia ini dan yang tidak tergantung pada apa pun, dan yang akan hidup terus sementara kekuatan-kekuatan lain mungkin lenyap dan berhenti bekerja.” (Anand,12)
Wallahua’lam.
0 Comments