Landasan Islam Tentang Masyarakat Tanpa-Kekerasan (Bagian 2)

“..Apa yang dilakukan Nabi ini merupakan contoh bagaimana konflik sesungguhnya bisa diatasi tanpa dengan kekerasan..”2 min


2

Jika dalam bagian satu sebelumnya dibahas bagaimana permasalahan teologis menjadi salah satu landasan Islam tentang masyarakat tanpa-kekerasan dan bahwa perdamaian menjadi hal yang tidak terpisahkan dari permasalahan teologis dalam Islam, maka pada bagian ini akan dipaparkan landasan Islam lainnya tentang masyarakat tanpa-kekerasan yang didasarkan dari praktik-praktik yang dilakukan Nabi Muhammad.

Praktik Nabi sebagai Paradigma

Ada dua peristiwa penting yang dialami Muhammad  — satu peristiwa sebelum menjadi Nabi dan satu lagi setelahnya – yang menunjukkan dasar-dasar perdamaian: pembangunan kembali Mekkah tahun 605 dan penaklukan kembali Mekkah pada tahun 630. Kejadian pertama berlangsung sebelum pewahyuan al-Quran kepada Nabi, sehingga merupakan waktu ketika ia bisa dianggap sebagai orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik apa pun. Sementara peristiwa yang kedua terjadi setelah ia memegang kekuasaan politik dan berada dalam pengasingan yang lama di kota Madinah demi perdamaian.

Ketika pada tahun 605 masyarakat Mekkah berjuang untuk membangun Ka’bah muncul konflik di kalangan beberapa suku mengenai siapa yang berhak untuk meletakkan “batu hitam” di atas Ka’bah. Konflik bermula ketika masing-masing klan saling berkeinginan untuk memperoleh kehormatan sebagai pengangkat batu tersebut dan meletakkannya di tempatnya. Setelah hampir lima hari terjadi perang urat syarat, muncul usulan dari orang tersepuh yang hadir agar mengikuti saran orang yang kemudian memasuki Ka’bah melalui pintu “Bab al-Shafa“. Kebetulan yang beruntung melewati pintu tersebut adalah Nabi Muhammad.

Nabi Muhammad yang dipercaya atas tugas menyelesaikan konflik tersebut meminta agar didatangkan jubah dan meletakkan batu hitam di atas jubah yang telah dibentangkan di atas tanah. Ia kemudian meminta masing-masing klan untuk memegang pinggir jubah, kemudian mengangkatnya dan Muhammad mengambil batu tersebut untuk diletakkan di tempatnya. Maka dimulailah kembali pembangunan Ka’bah tersebut. (Lings,1983: 41-42)

Apa yang dilakukan Nabi ini merupakan contoh bagaimana konflik sesungguhnya bisa diatasi tanpa dengan kekerasan. Alih-alih mendorong kepada klan tertentu untuk meletekkan batu tersebut, Nabi memberikan kesempatan yang sama kepada mereka guna menghindari kemungkinan terjadinya konflik yang lebih tajam.

Dari tindakan Nabi ini ada beberapa nilai inti yang bisa diidentifikasi untuk menciptakan perdamaian. Pertama, kesabaran karena Muhammad mau mendengar terlebih dulu mengenai problem yang sesungguhnya. Kedua, dengan memberikan kesempatan yang sama kepada semua klan untuk memegang jubah, Muhammad menegaskan signifikansi dan martabat kelompok yang bertikai: bahwa penghormatan terhadap kemanusiaan setiap pihak harus diberikan. Ketiga, pengangkatan jubah secara bersama-sama menunjukkan bahwa kehormatan tidak harus diperoleh dengan mengorbankan kehormatan pihak lain, tetapi bisa dengan cara membaginya secara setara. Keempat, berbagi bersama ini didasarkan atas partisipasi yang sama di antara semua pihak yang terlibat konflik. Kelima, perlu kreatif untuk mencari media yang bisa menyelesaikan konflik. (Satha,2001:33)

Kemudian peristiwa kedua terjadi tahun 622 ketika Nabi bersama pasukannya berupaya kembali ke Mekkah setelah eksodus selama delapan tahun di kota Madinah. Orang-orang Mekkah yang merasa berbuat salah dengan mengusir Muhammad ke Madinah takut akan kemungkinan balas dendam yang mungkin menimpa mereka. Ketika memasuki Mekkah, Nabi Muhammad berpidato: “Apa yang akan kalian katakan dan apa yang kalian pikirkan?” Mereka menjawab, “Kami berkata dan berpikir baik: Saudara yang terhormat dan murah hati, Andalah yang memberi perintah.” Kemudian Nabi pun mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya aku berkata seperti yang diucapkan saudarakan Yusuf: Pada hari ini tidak ada celaan yang ditimpakan atas kalian: Tuhan akan mengampuni kalian, dan Dialah Maha Penyayang di antara para penyayang.”(QS 12: 92)

Dari tindakan Nabi ini dapat diidentifikasi hal terpenting dalam upayanya untuk menciptakan perdamaian, yakni memaafkan. Banyak orang menganggap bahwa memaafkan merupakan hal yang sangat penting dalam budaya politik untuk terciptanya perdamaian. Kenneth David Kaunda, misalnya, yang menjadi presiden Zambia memasukkan pemberian maaf dalam agenda politiknya. Gagasannya bagaimanapun menarik bagi mereka yang cinta anti-kekerasan. (Anand, 57) Martin Luther King Jr (1958: 87) menyoroti arti penting memaafkan dalam konteks cinta. Ia menjelaskan hal ini sebagai agape: suatu pencarian aktif untuk melindungi dan menciptakan komunitas. “Cinta agape mencakup kesediaan untuk memafkan, bukan tujuh kali tetapi tujuh puluh kali guna memulihkan masyarakat.”

Dari cerita-cerita di atas terlihat, bahwa nilai inti yang mendasari paradigma Kenabian adalah belas-kasih Nabi kepada orang lain. Secara teologis, Tuhan menunjukkan bahwa tujuan pengutusan Nabi adalah “sebagai belas kasih bagi siapa saja di antara kaum yang beriman”(QS, 9:16). Dalam ayat lain ditegaskan bahwa, “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai belas kasih bagi sekalian alam”(QS,21:107). Belas kasih universal inilah yang meresap ke dalam eksistensi Nabi, dan inilah yang membantu mengungkapkan kelima nilai inti yang disebutkan sebelumnya: kesabaran, penghormatan atas martabat manusia, berbagi bersama, kreatif dan  pemberian maaf.


Like it? Share with your friends!

2
Ahmad Baidowi

Dr. Ahmad Baidowi, S.Ag., M.Si. adalah Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

0 Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Choose A Format
Story
Formatted Text with Embeds and Visuals